Minggu, 19 Februari 2012

"I would rather walk with a friend in the dark, than alone in the light.” -Hellen Keller



Aku ingat saat itu. Hari kesekian masuk sekolah di sekolah dasar, dengan seragam kemeja putih dan daster biru tua lengkap sewarna dengan topiku. Setelah ayah menurunkanku dari mobil, aku beringsut mencari kelasku.

Sekolah yang tidak buruk, dengan teman-teman yang berair muka gembira, semangat, dan apalah itu.  Namun aku tidak terlalu merasakannya. Aku hanya berjalan lurus ke kelasku sembari menunduk memandang ke sepatuku yang hitam. Tidak berani melihat guru ataupun menoleh saat para ibu yang menunggu anaknya itu menyapaku. Mereka hanya tersenyum maklum.


Bel istirahat berdering. Teman-teman sekelasku berhamburan keluar kelas dengan (sekali lagi) berwajah gembira sambil menenteng bekal masing-masing keluar. Aku sendiri membuka bekalku di kelas. Seperti biasa, roti keju. Bekal yang kubuat sendiri tadi pagi. Aku mengunyahnya sedikit sambil memandang keluar jendela kelas. Mereka bermain lompat tali, makan bersama, tertawa…

“Abil,” suara khas anak perempuan menyapaku. Saat kutahu, rupanya Brenda –teman sebangkuku. Saking menikmati kesendirian, aku lupa ia masih ada disebelahku. Ia menggoyangkan kakinya, kotak bekalnya telah terbuka. Sekilas kuhirup bau manis kecap diatas telur dadarnya yang sengaja dibentuk persegi.

Aku tak menjawab. Tepatnya, aku tidak berani menjawab. Aku hanya menunjukkan senyuman terpaksa yang dikulum.

“Kita makan sama-sama, yuk! Uwaah, Abil bekal roti keju, ya?” katanya lagi.

Aku mengangguk pelan, masih dengan seyum terpaksa itu.

Melihatku merespon, Brenda lalu berceloteh, “Brenda bekal telur dadar. Dibuatin Bunda Naya. Bentuknya persegi, lucu kan, Bil? Abil mau coba?”

Kali ini aku menggeleng, dan tetap tersenyum.

“Hihi, Abil murah senyum, ya. Cantik, lagi,” ia memuji ku. Pujian pertama yang kudapat dari seorang teman.

Setelah terdiam sebentar, larut dengan kunyahan masing-masing, kali ini aku yang membuka mulut. “Kenapa Brenda nggak main sama temen-temen yang lain di luar?”

Brenda tersenyum menatapku, mungkin sedikit bangga karena berhasil membuatku berbicara.

“Hm? Brenda mau makan di sini aja. Apalagi, di sini ada Abil. Masa Brenda harus ninggalin Abil makan sendirian di kelas? Kita kan teman. Brenda dan Abil itu teman,” jelasnya panjang lebar.

Teman? Aku mulai tersenyum, Senyum tulus.

          ***

 “Abiil !” teriak Brenda yang berlari menemuiku di kelas.

Aku ikut berlari kecil mendekatinya. “Yaa?” kulihat mata Brenda berbinar.

“Kita main lempar bola, yuk!” ia mengajakku dan menarik lenganku dengan bersemangat. Aku mengerjap-ngerjap mataku.

“Ayo, Abiil. Seru, kok! Ada Yunnes, Nisha, sama Rien juga,”

Aku tersenyum senang. Aku ingin mencoba berteman. Beberapa hari ini aku selalu bersama dengan Brenda saja. Mencoba sedikit lebih terbuka, tidak apa apa kan bagi seorang penyendiri sepertiku? Bukankah aku sendiri juga sering mengeluh tiap kali sendiri?
“Ayo!” sahutku riang, untuk pertama kali.

Uwaaaaw! Aku tidak pernah merasa seriang hari ini! Teman-temanku ini teman-teman yang menyenangkan! Brenda juga sepertinya menikmati hari ini. Sedikit demi sedikit aku tertawa, melompat-lompat riang, bercanda dengan Yunnes, dan teman-teman yang lainnya.

Kini giliranku melempar bola.

“Abil, lempar ke aku! Lempar ke aku!” Iva berteriak ke arahku. Ku lempar bola ke Iva. Ku kira lemparanku tidak terlalu kuat dan tidak terlalu tinggi untuk digapai Iva. Tapi, Iva terjatuh! Bola yang kulempar mengenai kepalanya. Kulihat mukanya memerah, dan.. oh tidak! Ia menangis. Cukup kencang.

Aku terkejut, lalu mendatangi Iva yang masih terduduk di atas tanah. Aku ikut duduk sambil menunduk. “Iva, Abil salah, Abil minta maaf,” kataku cukup pelan.

Tidak kusangka, Ibu Iva yang selalu menunggui Iva di sekolah lalu ikut turun mendatangi anaknya. Aku semakin menunduk.

“Apa yang kamu pikirkan, ha?! Kamu mau melukai anak saya?!” Ibu Iva membentakku. Aku diam saja. Ini memang salahku. Sekuat tenaga ku tahan air mataku yang hampir mengalir.

“Maaf,” desisku pelan.

“Seenaknya saja minta maaf! Mana Ibumu?! Apa kamu tidak pernah diajari Ibumu?!” bentaknya tajam. Kalimat yang terakhir diungkapkannya sungguh kejam. Ibu Iva lalu menolong anaknya dan mengusap-usap kepalanya.

Mataku semakin panas. Aku mulai menggosok mataku. Lalu berlari ke taman belakang sekolah. Tak kurasa, aku menangis. Biasanya, aku bisa menahan airmataku, mengapa sekarang tidak?

Inilah yang tiap kali kutakutkan dalam hidup. Kata orang, setelah senang, akan ada sedih, lalu setelah sedih, kembali akan ada senang. Menyakitkan, bukan? Bahwa aku terlalu terlarut bahagia tadi, dan sekarang aku menangis. Apa memang kita dilahirkan untuk takut terlalu senang?

Terkadang sesuatu yang buruk memang ditakdirkan untuk menyelingi kesenangan. Mungkin aku harus tetap menjadi Abil yang dulu. Yang pendiam, penyendiri. Dari pada aku harus merasa senang dan akhirnya harus jatuh.

Ya, tentu dulu aku tidak berpikir sedewasa ini. Dulu aku berpikir betapa kejamnya bentakan Ibu Iva di telingaku.

Mana Ibumu?! Katanya.
Memikirkan dimana Ibuku sekarang saja aku rasanya ingin meraung.

“Abil,” kulihat Brenda berlari kecil untuk memelukku. “Jangan menangis,” tetes-tetes airmata Brenda membasahi kerah seragamku.

“Kalau Abil nangis, Brenda sedih. Brenda mau Abil tertawa lagi kayak waktu main tadi,”

Aku terdiam menunduk, lalu melap airmataku dengan dasi. “Abil juga nggak mau Brenda sedih. Kita kan teman,”

Setelah terdiam beberapa lama, aku mengeluarkan suara. “Abil mau Brenda tau. Abil nggak punya Ibu. Abil nggak kayak Brenda, nggak kayak Yunnes, nggak kayak Rien, nggak kayak Nisha, nggak kayak Iva..”

“Abil nggak suka Mama Iva ngebentak Abil dan menyinggung mama Abil. Dan.. dan Abil nggak suka ngeliat Iva dibelai Ibunya kayak tadi. Karena...” aku menatap Brenda sebentar.

“Karena Abil sama sekali nggak pernah dibelai Mama Abil,” tangisku kembali pecah. “Kata Ayah, Mama Abil pergi pas Abil datang,”

“Abil, Abil jangan nangis,” kata Brenda seakan memahamiku. “Brenda juga nggak tau Mama dan Papa Brenda dimana. Bunda Naya bukan mama Brenda. Terakhir kali, Brenda liat Mama Papa Brenda lagi tidur di kamar putih.. Kata Bunda Naya, Mama dan Papa Brenda lagi pergi,”

Aku masih terisak. Dan Brenda menarikku kedalam pelukannya.
“Abil, Mama Abil pasti juga lagi pergi kok. Sama seperti Mama dan Papa Brenda. Dan, mereka pasti balik lagi. Kan mereka hanya pergi,”

Saat itu rasanya aku ingin mengatakan pada Brenda, bahwa ‘pergi’ disini artinya tidak akan kembali. Orangtuamu telah meninggal, Brenda.

“Abil, tenang aja. Mereka pasti kembali,” ulangnya saat aku menangis lebih kencang. 

“Percaya sama Brenda, Abil. Mereka pasti pulang. Mereka pasti pulang. Mereka pasti pulang,” Brenda terus mengulang kata-katanya. Sampai ia menitikkan airmatanya, dan suaranya perlahan memelan, dan akhirnya ia ikut menangis bersamaku.

Perlahan aku berhenti menangis. Begitu pula Brenda. Lalu aku menatap matanya yang merah, Brenda juga menatap mataku.

“Brenda, kita tetap berteman, ya, sambil menunggu orangtuamu dan mamaku kembali,” kataku sambil memegang tangannya. Ia mengangguk dan tersenyum.

Perasaanku jauh lebih baik saat itu. Ternyata memang benar, setelah kesenangan, kesedihan datang dan nantinya kesenangan akan kembali. Setelah larut dalam kesedihanku, setidaknya sekarang aku telah memperoleh kesenanganku. Untukku bersamamu, Brenda, sahabat pertamaku.
friendship oleh Marta Potoczek







Inspired by : Ku Disini - Sherina

Sabtu, 18 Februari 2012

expressions :p

Hello *big smile* !
sekarang 2012 tamannya remaja buat beraksi !
dengan postingan pertama ini, mulai hari ini dan kedepannya, aku, bakal posting beragam short stories yang mana karyaku sendiri.
disini, aku butuh saran, tanggapan, dan kritikan membangun untuk mengembangkan kemampuanku.
support me :) bcause every little word in your comment will strengthen my imaginations to fly up high.

Me, the dreamer
ps: do you want to know me deeply? follow @npputri