Aku
ingat saat itu. Hari kesekian masuk sekolah di sekolah dasar, dengan seragam
kemeja putih dan daster biru tua lengkap sewarna dengan topiku. Setelah ayah
menurunkanku dari mobil, aku beringsut mencari kelasku.
Sekolah
yang tidak buruk, dengan teman-teman yang berair muka gembira, semangat, dan
apalah itu. Namun aku tidak terlalu merasakannya.
Aku hanya berjalan lurus ke kelasku sembari menunduk memandang ke sepatuku yang
hitam. Tidak berani melihat guru ataupun menoleh saat para ibu yang menunggu
anaknya itu menyapaku. Mereka hanya tersenyum maklum.
Bel
istirahat berdering. Teman-teman sekelasku berhamburan keluar kelas dengan (sekali
lagi) berwajah gembira sambil menenteng bekal masing-masing keluar. Aku sendiri
membuka bekalku di kelas. Seperti biasa, roti keju. Bekal yang kubuat sendiri tadi pagi. Aku mengunyahnya sedikit
sambil memandang keluar jendela kelas. Mereka bermain lompat tali, makan
bersama, tertawa…
“Abil,”
suara khas anak perempuan menyapaku. Saat kutahu, rupanya Brenda –teman sebangkuku.
Saking menikmati kesendirian, aku lupa ia masih ada disebelahku. Ia menggoyangkan
kakinya, kotak bekalnya telah terbuka. Sekilas kuhirup bau manis kecap diatas
telur dadarnya yang sengaja dibentuk persegi.
Aku
tak menjawab. Tepatnya, aku tidak berani menjawab. Aku hanya menunjukkan senyuman
terpaksa yang dikulum.
“Kita
makan sama-sama, yuk! Uwaah, Abil bekal roti keju, ya?” katanya lagi.
Aku
mengangguk pelan, masih dengan seyum terpaksa itu.
Melihatku
merespon, Brenda lalu berceloteh, “Brenda bekal telur dadar. Dibuatin Bunda
Naya. Bentuknya persegi, lucu kan, Bil? Abil mau coba?”
Kali
ini aku menggeleng, dan tetap tersenyum.
“Hihi,
Abil murah senyum, ya. Cantik, lagi,” ia memuji ku. Pujian pertama yang kudapat
dari seorang teman.
Setelah
terdiam sebentar, larut dengan kunyahan masing-masing, kali ini aku yang
membuka mulut. “Kenapa Brenda nggak main sama temen-temen yang lain di luar?”
Brenda
tersenyum menatapku, mungkin sedikit bangga karena berhasil membuatku
berbicara.
“Hm?
Brenda mau makan di sini aja. Apalagi, di sini ada Abil. Masa Brenda harus
ninggalin Abil makan sendirian di kelas? Kita kan teman. Brenda dan Abil itu
teman,” jelasnya panjang lebar.
Teman?
Aku mulai tersenyum, Senyum tulus.
***
“Abiil !” teriak Brenda yang berlari menemuiku
di kelas.
Aku
ikut berlari kecil mendekatinya. “Yaa?” kulihat mata Brenda berbinar.
“Kita
main lempar bola, yuk!” ia mengajakku dan menarik lenganku dengan bersemangat. Aku
mengerjap-ngerjap mataku.
“Ayo,
Abiil. Seru, kok! Ada Yunnes, Nisha, sama Rien juga,”
Aku
tersenyum senang. Aku ingin mencoba berteman. Beberapa hari ini aku selalu
bersama dengan Brenda saja. Mencoba sedikit lebih terbuka, tidak apa apa kan
bagi seorang penyendiri sepertiku? Bukankah aku sendiri juga sering mengeluh
tiap kali sendiri?
“Ayo!”
sahutku riang, untuk pertama kali.
Uwaaaaw!
Aku tidak pernah merasa seriang hari ini! Teman-temanku ini teman-teman yang
menyenangkan! Brenda juga sepertinya menikmati hari ini. Sedikit demi sedikit
aku tertawa, melompat-lompat riang, bercanda dengan Yunnes, dan teman-teman
yang lainnya.
Kini
giliranku melempar bola.
“Abil,
lempar ke aku! Lempar ke aku!” Iva berteriak ke arahku. Ku lempar bola ke Iva. Ku
kira lemparanku tidak terlalu kuat dan tidak terlalu tinggi untuk digapai Iva. Tapi,
Iva terjatuh! Bola yang kulempar mengenai kepalanya. Kulihat mukanya memerah,
dan.. oh tidak! Ia menangis. Cukup kencang.
Aku
terkejut, lalu mendatangi Iva yang masih terduduk di atas tanah. Aku ikut duduk
sambil menunduk. “Iva, Abil salah, Abil minta maaf,” kataku cukup pelan.
Tidak
kusangka, Ibu Iva yang selalu menunggui Iva di sekolah lalu ikut turun
mendatangi anaknya. Aku semakin menunduk.
“Apa
yang kamu pikirkan, ha?! Kamu mau melukai anak saya?!” Ibu Iva membentakku. Aku
diam saja. Ini memang salahku. Sekuat tenaga ku tahan air mataku yang hampir mengalir.
“Maaf,”
desisku pelan.
“Seenaknya
saja minta maaf! Mana Ibumu?! Apa kamu tidak pernah diajari Ibumu?!” bentaknya
tajam. Kalimat yang terakhir diungkapkannya sungguh kejam. Ibu Iva lalu menolong
anaknya dan mengusap-usap kepalanya.
Mataku
semakin panas. Aku mulai menggosok mataku. Lalu berlari ke taman belakang
sekolah. Tak
kurasa, aku menangis. Biasanya, aku bisa menahan airmataku, mengapa sekarang
tidak?
Inilah
yang tiap kali kutakutkan dalam hidup. Kata orang, setelah senang, akan ada sedih,
lalu setelah sedih, kembali akan ada senang. Menyakitkan, bukan? Bahwa aku
terlalu terlarut bahagia tadi, dan sekarang aku menangis. Apa memang kita
dilahirkan untuk takut terlalu senang?
Terkadang
sesuatu yang buruk memang ditakdirkan untuk menyelingi kesenangan. Mungkin aku
harus tetap menjadi Abil yang dulu. Yang pendiam, penyendiri. Dari pada aku
harus merasa senang dan akhirnya harus jatuh.
Ya,
tentu dulu aku tidak berpikir sedewasa ini. Dulu aku berpikir betapa kejamnya
bentakan Ibu Iva di telingaku.
Mana Ibumu?! Katanya.
Memikirkan
dimana Ibuku sekarang saja aku rasanya ingin meraung.
“Abil,”
kulihat Brenda berlari kecil untuk memelukku. “Jangan menangis,” tetes-tetes
airmata Brenda membasahi kerah seragamku.
“Kalau
Abil nangis, Brenda sedih. Brenda mau Abil tertawa lagi kayak waktu main tadi,”
Aku
terdiam menunduk, lalu melap airmataku dengan dasi. “Abil juga nggak mau Brenda
sedih. Kita kan teman,”
Setelah
terdiam beberapa lama, aku mengeluarkan suara. “Abil mau Brenda tau. Abil nggak
punya Ibu. Abil nggak kayak Brenda, nggak kayak Yunnes, nggak kayak Rien, nggak
kayak Nisha, nggak kayak Iva..”
“Abil
nggak suka Mama Iva ngebentak Abil dan menyinggung mama Abil. Dan.. dan Abil
nggak suka ngeliat Iva dibelai Ibunya kayak tadi. Karena...” aku menatap Brenda
sebentar.
“Karena
Abil sama sekali nggak pernah dibelai Mama Abil,” tangisku kembali pecah. “Kata
Ayah, Mama Abil pergi pas Abil datang,”
“Abil,
Abil jangan nangis,” kata Brenda seakan memahamiku. “Brenda juga nggak tau Mama
dan Papa Brenda dimana. Bunda Naya bukan mama Brenda. Terakhir kali, Brenda
liat Mama Papa Brenda lagi tidur di kamar putih.. Kata Bunda Naya, Mama dan
Papa Brenda lagi pergi,”
Aku
masih terisak. Dan Brenda menarikku kedalam pelukannya.
“Abil,
Mama Abil pasti juga lagi pergi kok. Sama seperti Mama dan Papa Brenda. Dan, mereka
pasti balik lagi. Kan mereka hanya pergi,”
Saat
itu rasanya aku ingin mengatakan pada Brenda, bahwa ‘pergi’ disini artinya
tidak akan kembali. Orangtuamu telah meninggal, Brenda.
“Abil,
tenang aja. Mereka pasti kembali,” ulangnya saat aku menangis lebih kencang.
“Percaya
sama Brenda, Abil. Mereka pasti pulang. Mereka pasti pulang. Mereka pasti
pulang,” Brenda terus mengulang kata-katanya. Sampai ia menitikkan airmatanya,
dan suaranya perlahan memelan, dan akhirnya ia ikut menangis bersamaku.
Perlahan
aku berhenti menangis. Begitu pula Brenda. Lalu aku menatap matanya yang merah,
Brenda juga menatap mataku.
“Brenda,
kita tetap berteman, ya, sambil menunggu orangtuamu dan mamaku kembali,” kataku
sambil memegang tangannya. Ia mengangguk dan tersenyum.
Perasaanku
jauh lebih baik saat itu. Ternyata memang benar, setelah kesenangan, kesedihan
datang dan nantinya kesenangan akan kembali. Setelah larut dalam kesedihanku,
setidaknya sekarang aku telah memperoleh kesenanganku. Untukku bersamamu,
Brenda, sahabat pertamaku.
Inspired by : Ku Disini - Sherina